My Coldest CEO

27| Let Go or Pretend?



27| Let Go or Pretend?

0Berlinang air mata, dada yang naik turun terlihat sesak dan menyedihkan. Untung saja, lorong kerja ini hanya berisikan dirinya dan juga Leo. Jadi, tidak perlu di takutkan kalau ada para karyawan yang melihat kerapuhannya saat ini.     

Berjalan gontai, Azrell mulai masuk ke dalam ruang kerjanya yang tidak pernah di kunci. Hari patah hati? iya, semuanya berakhir tepat pada hari ini.     

Ia menjatuhkan diri di atas sofa, belum memiliki suasana hati yang baik untuk memulai kembali berkutat dengan tumpukan dokumen yang menunggu kehadiran dirinya untuk cepat-cepat selesai di kerjakan.     

"Kalau kayak gini, rasanya beda banget ya." gumam Azrell sambil menghembuskan napasnya dengan sangat perlahan. Membuat rasa sakit yang menggores hati langsung saja mengeluarkan sesak yang membuat napasnya tercekat.     

Membayangkan kalau dulu butuh sesuatu, pasti ada Leo yang selalu ada. Meminta ini itu, bahkan di pesankan junk food secara sukarela tanpa banyak penawaran dan berbasa-basi. Apalagi saat dirinya jenuh karena hanya sendirian bekerja di ruangan ini, dengan lapang dada laki-laki tersebut membuka pintu ruangan kerjanya.     

Tapi mulai saat ini, mereka kembali menjadi pekerja profesional tanpa memandang ikatan status yang sudah kandas.     

Throwback     

Siang hari yang cukup cerah, udara AC menyapu setiap sudut ruangan dengan angin yang menyejukkan. Azrell dengan bolpoin di tangannya tengah merenung, ia menatap kosong objek terkecil yang ada di hadapannya.     

"Ih bosen banget kalau kayak gini caranya mah aku mabuk pekerjaan, tidak ada teman untuk di ajak berbicara, menyebalkan." gumamnya yang langsung saja meletakkan bolpoin dengan keras ke aras meja. Di lirik jam dinding, masih menunjukkan waktu setengah dua.     

Tiba-tiba saja, pikirannya melayang ke Leo. Ia segera beranjak dari duduknya dengan senyuman yang mulai merekah. "Lebih baik aku bekerja di sana aja ah," ucapnya sambil mengambil tas jinjing yang terdapat banyak barang berharga miliknya, lalu mulai meraih dokumen tersebut dan di bawa bersamanya keluar ruangan.     

Sebuah pintu yang dulu selalu membuat dirinya panas dingin karena di dalam sana terdapat sosok laki-laki yang sangat hot dan sexy, siapa lagi kalau bukan Leonardo Luis? laki-laki yang di kabarkan menyandang predikat terkaya dengan posisi CEO.     

Namun kini, ruangan itu sudah dengan bebas ia akses karena dirinya berhasil mendapatkan hati Leo dan hubungan mereka kini berjalan ke arah satu bulan berpacaran.     

"Sayang, aku datang!" seru Azrell sambil membuka langsung pintu kerja tersebut dengan siku, karena kedua tangannya sudah penuh akan barang-barang bawaan dari ruangannya.     

Terlihat Leo yang tengah duduk di kursi kekuasaannya. "Hai, sayang. Silahkan masuk, pasti kamu bosan lagi ya berada sendirian di ruangan mu?" tebaknya sambil terkekeh kecil. Bukan hal yang mengejutkan lagi jika tiba-tiba Azrell datang ke ruangannya sambil membawa banyak barang.     

Azrell menganggukkan kepala sambil mengerucutkan bibir dengan sangat lucu. "Iya, dan itu sangat membosankan. Aku bahkan sampai tidak tahu ingin melakukan apa supaya kehampaan ku terisi." ucapnya sambil berjalan menuju sofa yang berada di sana. Mulai menata barang-barang di tangannya tepat di atas meja.     

Setelah itu, Azrell langsung saja mendaratkan bokongnya dan mencari posisi ternyaman.     

"Kamu tadi sudah makan siang? saya tadi menunggu kamu, tapi saat jam istirahat tidak ada tanda-tanda kedatangan dirimu."     

"Iya, tadi aku malas sekali keluar ruangan dan memilih untuk bekerja. Dan ya, sekarang aku lapar, Leo.." balas Azrell, ia merengek saat di akhir kalimatnya sambil menunjukkan wajah puppy eyes yang sialnya memang semakin membuat penampilan wajahnya tambah cantik dan manis.     

"Baiklah, kalau begitu lima belas menit lagi pizza untuk mu akan segera datang."     

"Loh, bagaimana bisa? bahkan kamu belum membuat pesanan."     

"Ya ini saya baru ingin menghubungi bodyguard,"     

Azrell merutuki dirinya sendiri karena memang selalu tidak sabaran dan akhirnya mengeluarkan kalimat yang aneh. Ia akhirnya terkekeh lalu menepuk keningnya. "Astaga, aku bodoh sekali." ucapnya sambil menatap Leo yang juga mengulas senyuman geli di wajahnya.     

"Mau pesan apalagi selain pizza?"     

"Kalau request, boleh gak sayang?"     

"Request apa memang? kamu tidak suka salah satu ingredients di dalam pizza?"     

"Bukan itu, aku mau request supaya beberapa bulan ke depan, kita masih bersama-sama."     

Throwback off     

Tersenyum pahit, Azrell melempar bantal sofa yang berada di sampingnya dengan kencang ke arah dinding. Seolah-olah di sana ada Leo yang tengah berdiri tegak sambil menatap ke arahnya tanpa rasa ketertarikan sedikit. "IYA, AKU YANG SALAH DAN AKU MINTA MAAF!" pekiknya dengan suara melengking namun terdengar sedikit serak.     

Kedua matanya yang mulai sembab tidak ingin berhenti mengeluarkan air mata dari dalamnya, justru semakin deras dan terlihat memprihatinkan. Belum lagi hidungnya yang mulai memerah.     

Merelakan bukan hal yang mudah, apalagi merelakan seseorang yang namanya masih tercetak jelas di dalam hati.     

Azrell tidak pernah terjebak di dalam kasus jatuh cinta seperti ini. Biasanya, kalau berpacaran, dirinyalah yang selalu menjadi pemenang.     

Tapi untuk kali ini, sepertinya 'pemenang' sudah berubah menjadi 'pecundang', menyedihkan.     

'Bukan itu, aku mau request supaya beberapa bulan ke depan, kita masih bersama-sama'     

Pertanyaan bodohnya karena kala itu sudah termakan cinta dan kasih sayang serta uang, Azrell yakin kalau dirinya saat ini menyesali permintaan yang tidak terwujud karena ulahnya sendiri.     

'Iya, saya akan bertahan semampu saya. Tapi kalau suatu saat nanti kita berpisah, saya tidak akan pernah mau kembali apapun alasannya.'     

Dan jawaban Leo yang terdengar klasik itu membuat hatinya menjerit perih.     

"Setahu ku, kalau kalah pasti selalu punya kesempatan kedua, iya kan? kalaupun tidak, ia pasti akan menjadi hama."     

...     

Sedangkan Leo yang berada di sisi sana...     

Sejak kepergian Azrell dari ruangannya, rasa menyesal tidak pernah terbesit dari dalam hatinya. Masih memegang prinsip, ia tidak akan mengubahnya hanya karena alasan penampilan wanita tersebut yang good looking ataupun tingkat perhatian yang tinggi.     

Selagi sudah di buang, Leo berhak untuk mencari pemilik yang baru karena sudah tidak nyaman dengan perlakuan pemilik lama yang karena hanya masalah kabar saja langsung membuang dirinya. Bagaimana kalau nanti ia bekerja di Luis Company yang berada di New York? sudah pasti Azrell tidak akan sudi melakukan hubungan LDR bersamanya.     

Menarik napas, Leo meraih sebuah benda pipih kepunyaannya. Mencari nomor telepon yang baru kemarin ia bisa dapatkan, dan menghubungi dirinya dengan sang empunya nomor di seberang sana.     

Dering pertama lewat, begitu juga dengan dering kedua yang belum menunjukkan tanda-tanda kalau panggilan telepon akan tersambung.     

"Halo, Tuan? ada perlu apa ya menelepon ku?"     

Suara seorang wanita yang terdengar lembut di seberang sana langsung saja memenuhi indra pendengaran Leo. Hampir saja dirinya berpikir yang tidak-tidak karena saat ini nafas wanita tersebut tidak beraturan.     

"Kenapa kamu, Fe? habis melakukan sesuatu?" tanya Leo sambil menaikkan sebelah alisnya, ia merasa heran saja kenapa napasnya sedikit memburu.     

"Maksudnya Tuan apa?" Bukannya menjawab pertanyaannya, Felia malah balik bertanya.     

Leo mengambil napasnya, lalu menghembuskan dengan perlahan. "Kenapa napas mu tidak beraturan? siang-siang begini, masa iya olahraga?" tanyanya yang lebih memperjelas perkataan yang keluar dari dalam mulutnya.     

"Tidak, Tuan. Aku baru selesai merapihkan gudang peralatan kebersihan, dan ku pikir yang menelepon itu Tuan Sam." jawab Felia di seberang sana dengan nada sedikit mencicit karena wanita tersebut tengah mengatur napasnya dengan perlahan supaya kembali seperti bernapas normal.     

Entah dari mana segi lucunya, saat ini Leo mengulum sebuah senyuman yang terlihat sangat menambah poin ketampanan wajahnya.     

"Lebih baik minum dulu," ucapnya sambil menyandarkan tubuh di kepala kursi.     

"Sudah, Tuan. Oh ya, ada perlu apa menelepon ku di jam kerja seperti ini?"     

Leo menatap jam dinding yang berada di ruangannya, bahkan baru setengah jam yang lalu sejak istirahat kantor berakhir.     

"Saya hanya ingin bertanya, bagaimana keputusan mu untuk akhir pekan ini?" tanyanya. Ia masih memerlukan kepastian, dan ya supaya nanti enak mengatur jadwal untuk pergi ke lokasi-lokasi penting seperti menara Eiffel dan yang lainnya.     

Terdengar deheman kecil dari seberang sana, "Tidak tau, Tuan. Aku belum memutuskan apapun, dan kenapa juga harus di bahas sekarang kalau masih ada hari esok?"     

"Ya kebetulan saya ingatnya sekarang, jadi tidak ada salahnya untuk menanyakan hal itu, iya kan?"     

"Ya memang benar sih, tapi kan aku sedang melakukan pekerjaan dan banyak yang masih belum ku selesaikan, Tuan."     

"Sepertinya kalau memanggil saya sedang sebutan nama saja, itu jauh lebih baik. Jangan pakai Tuan, memangnya kamu ini karyawan saya?"     

Leo menatap layar laptopnya yang masih menyala, terdapat email masuk dari Azrell pertanda wanita tersebut mengirimkan dokumen yang harus di periksa terlebih dahulu untuk dirinya.     

Ia menegakkan kembali tubuhnya, lalu meraih sebuah mouse untuk menggerakkan kursor laptop.     

"Kalau memanggil kamu dengan Leo saja, rasanya terdengar sangat aneh, Tuan."     

"Kalau begitu, jadikan sebuah kebiasaan supaya kamu terbiasa."     

Kedua mata Leo menyipit kala melihat dokumen yang sepertinya berbeda dengan dokumen-dokumen sebelumnya yang harus ia periksa sebelum di acc. Tidak ada kalimat pembuka atau apapun, bahkan kop surat saja tidak ada di atasnya. Masih dalam proses mengunduh dokumen, harus sampai 100% pengunduhan.     

"Kenapa Tuan tidak bekerja? Jawaban ku masih sama seperti yang kemarin, lagipula aku masih memiliki waktu untuk mempertimbangkan lagi."     

"Ini saya sambil bekerja, baiklah kalau begitu sampai jumpa ya."     

Pip     

Tanpa lama-lama menunggu balasan dari Felia di seberang sana, ia langsung mengakhiri panggilan telepon dan meletakkan ponselnya di atas meja, tepat di samping laptopnya.     

Ia membuka pesan email dari Azrell, lalu di sana ada beberapa kata yang di rangkai menjadi kalimat.     

:envelope:     

Terkadang, doa dan pengharapan belum tentu akan tercapai. Layaknya kita, yang sudah mengikuti jalannya takdir tapi tetap saja kehilangan arah pada akhirnya berpisah.     

Tuhan punya kejutan, menjadikan diri ku sebagai perantaranya. Selamat menjalankan hidup, tanpa seorang Azrella Farisha Wallie     

:envelope:     

Leo yakin kalau sudah seperti ini, Azrell akan mengubur rasa sayang untuk dirinya. Padahal, tadi wanita tersebut yang merengek supaya bisa tetap jatuh cinta padanya. Ah iya, para wanita memang paling sulit untuk di tebak, menyebalkan.     

"Kalau begini, apa yang harus saya lakukan?"     

Sebelumnya, ia tidak pernah berat melangkah kala wanita pergi meninggalkan, tapi kali ini kenapa rasa kasihan muncul di benaknya untuk Azrell? walaupun ini bukan sepenuhnya kesalahannya, tapi tentu saja dirinya malah merasa menjadi laki-laki yang bersifat jahat.     

Sudah lah, abaikan saja.     

Leo langsung saja membuang berkas yang sudah ter-download itu dari dalam laptopnya. Lalu tidak ingin mengindahkan pesan via email tadi. Azrell memang selalu plin-plan.     

"Pilihan yang tersulit bukan merelakan, tapi melepas sesuatu yang bahkan masih menggenggam erat hati kita."     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.